Ketika Hati Dihiasi Syukur
Ibnu Qudamah telah mengkategorikan syukur ke dalam tiga bentuk yaitu syukur hati, syukur lisan, dan syukur perbuatan. Hamba yang merasa bahwa hidup adalah titipan, layaknya mengekpresikan syukur dalam hati, lisan, dan perbuatan ini dilakukan agar diri mampu merasakan tidak ada kekuatan, kemegahan, kehebatan melainkan kerena iradah Allah Swt. Demikian kenyataanya, dan tak satu pun manusia yang dapat memungkiri.
Hati adalah jantung kehidupan, kenapa dikatakan begitu ? hati yang sehat, membuat anggota tubuh juga turut sehat. Bahkan sehatnya jiwa seseorang tergantung pada baiknya hati yang terdapat dalam rongga dadanya, kebutaan pada hati, membuat pikiran tertutup dan tak mampu menangkap hikmah dan pentingnya petunjuk dari Allah Swt.
Kebutaan pada hati, menyebabkan manusia tidak mampu mendengarkan dan memahami kebaikan yang ditiupkan Allah Swt pada kehidupan. Alangkah menakutkan ketika hidup tidak dirasuki oleh kebaikan. Semua gerak, perilaku, dan tindakan semata-mata dikendalikan oleh hawa nafsu. Inilah yang membuat hidup akan hancur. Buruknya, hidup tak lagi memiliki orientasi yang lebih hakiki. Karena itu, peliharalah diri dari kebutaan hati.
Al-Ghazali, mendefinisikan hati sebagai organ khusus. Dalam hati itu ada rongga, yang diisi oleh darah hitam. Dalam makna lainnya, Al-Ghazali menyebutkan hati sebagai qalb jasmaniah. Inilah hati yang di isi dengan kelembutan ruhani ketuhanan. Hati ini menjadi hakikat manusia. Tanpa ini, maka manusia kehilangan orientasi dirinya. Manusia yang memiliki hati jasmaniah, selalu mampu bersikap arif. Mereka sadar, akan hakikat diri sebagai hamba Allah Swt. Hati ini mampu mendorong diri sadar akan posisi hidup hanyalah persinggahan.
Hati jasmaniah ini yang menggerakkan lisan, bertutur alhamdulillah. Dan anggota tubuh pun bersyukur, dengan cara berbagi terhadap sesama. Hati adalah panglima, karena itu ia memiliki tentara. Al-Ghazali, menyebutkan dengan junud al qulb.
Hati juga memiliki posisi atau level. Pada posisi inilah hati harus di dorong. Al-Khawas, kata Al-Ghazali. Ini adalah maqam atau posisi di mana hati merasakan Allah selalu mengawasi manusia. Hati yang khawas ini membuat diri selalu patuh dan takut jika tergelincir pada kedurkaan. Hati yang khawas adalah hati yang selalu memerintah diri untuk mematuhi, mentaati segala perintah Allah serta menjauhi dari segala larangannya.
Hati yang telah mencapai posisi khawas, menjadikan diri mampu menjalani hidup sebagai jalan menuju Allah. Hati akan selalu bersyukur terhadap takdir dan kehendak Allah Swt. Ketika hati bersyukur, maka pada kondisi ini kemudian manusia seutuhnya melakukan perjalanan menuju Allah Swt. Mereka mendekatkan diri kepada Allah, dengan rahmat dan anugerah yang dititipkan Allah. Puncaknya, hidup akan terasa indah, tenang dalam rahmat Allah Swt. Juga, hidup akan terasa mudah dalam bimbingannya. Karena itu, layaknya hati senantiasa dilatih bersyukur, agar ia mampu memerintahkan anggota tubuh untuk berterima kasih pada Allah Swt, lalu berbuat bajik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Keutamaan Membaca Surat Al-Ikhlas
Keutamaan Membaca Surat Al-Ikhlas istiqomah moco surat ikhlas waktu subuh 3 x magrib 3x. mergo dawuhe kanjeng nabi nek wong iku moco surat ...
-
Memberi Kesempatan untuk Mendiskusikan Persoalan-Persoalan Keluarga. Ketika kepada anggota keluarga diberi waktu dan kesempatan untuk sam...
-
Keutamaan Membaca Surat Al-Ikhlas istiqomah moco surat ikhlas waktu subuh 3 x magrib 3x. mergo dawuhe kanjeng nabi nek wong iku moco surat ...
-
Tidak Menghalangi Tekad Bulat Suami Kapankah istri dapat dianggap menghalangi tekad suaminya? Yaitu ketika istri tidak lagi memiliki seman...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar