Kamis, 04 November 2021

Kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Pada zaman dahulu, di negeri Jilan ada anak kecil yang bernama Abdul Qadir. Ia adalah anak yatim. Pekerjaan sehari-harinya adalah menggembala sapi.

Pada suatu hari, Abdul Qadir berkata kepada ibunya, “wahai ibu, perkenankanlah aku pergi untuk menuntut ilmu!” Ibunya merasa terharu mendengar kata-kata anaknya tersebut. Lalu ia bertanya, “hai Abdul Qadir, apakah kamu sudah benar-benar mantap?”

“benar bu, jawabnya.

“kalau memang demikian, baiklah. Ibu merestuimu. Lalu ibunya mengambil dua kantung uang dinar. Uang dinar adalah pada zaman dahulu yang terbuat dari emas murni. Ibunya berkata, “nak, ayahmu dulu meninggalkan delapan puluh dinar sebelum wafat. Ini untukmu empat puluh dinar dan untuk saudaramu empat puluh dinar. Trimalah uang empat puluh dinar ini untuk bekalmu besok!”

Abdul Qadir menerima empat puluh dinar dari ibunya. “nak, ibu berpesan kepadamu. Janganlah sekali-kali kamu berdusta kepada siapa pun juga. Ingat dusta itu dilarang oleh Allah. Jadilah kamu anak yang senantiasa jujur, niscaya kamu beruntung.”

“baiklah, bu. Pesan ibu akan senantiasa saya ingat.”

“nah, kamu besok ada kafilah yang akan pergi ke Baghdad. Ikutlah kamu pergi bersama kafilah itu. Doa ibu senantiasa menyertaimu.”

Keesokan harinya, Abdul Qadir berangkat bersama kafilah yang hendak pergi ke Baghdad. Uang empat puluh dinar pemberian ibunya ia masukkan ke dalam kantung yang disimpan dalam bajunya. Tepatnya, di bawah ketiaknya. Jarak antara negeri Jilan dengan Kota Baghdad memang cukup jauh. Melewati gurun pasir, gunung, dan lembah. Namun, walaupun Abdul Qadir masih kecil, perjalanan tersebut tidaklah membuatnya putus harapan untuk menuntut ilmu. Di tengah jalan, rombongan kafilah tersebut dihadang oleh sekawanan perampok. Perampok itu bukan hanya merampas harta yang dibawa oleh anggota kafilah saja, tetapi juga membunuh mereka. Tinggal Abdul Qadir yang masih kecil yang belu dirampas hartanya dan belum dibunuh. Salah seorang perampok bertanya, “hai bocah, apa yang kau bawa?”.

“uang empat puluh dinar”, jawab Abdul Qadir.

Perampok itu terkejut. Ia tidak percaya bahwa anak sekecil itu membawa uang empat puluh dinar. Ia merasa dihina oleh anak kecil.

“empat puluh dinar? Kamu mempermainkan aku ya?”

“tidak. Aku berkata jujur”.

“ada apa ini?” tanya ketua perampok itu

“benar. Uang itu aku sembunyikan dalam kantong di bawah ketiakku ini agar tidak dicuri oleh orang. Lihatlah kalau kalian tidak percaya, “ kata Abdul Qadir. Lalu ia mengeluarkan kantung yang disimpan dalam baju, di bawah ketiaknya. Memang benar, ketika kantung itu dibuka isinya empat puluh dinar. Para perampok itu hampir tidak percaya.

“hai bocah, tahukah kamu bahwa kami ini suka perampok orang, merampas harta dan membunuh nyawanya?”
“aku tahu. Tadi kamu merampas harta seluruh orang di kafilah ini dan membunuh semua, “ jawab Abdul Qadir.

“lalu, mengapa kamu berkata jujur kepada kami bahwa kamu membawa uang begini banyak? Apakah kamu tidak takut kepada kami?”

“sebelum berangkat, aku telah dipesan oleh ibuku agar senantiasa jujur, tidak boleh berdusta. Jika aku jujur, pasti aku beruntung dan jika aku berbohong, pasti aku celaka. Aku tidak takut kepada siapa pun juga. Aku hanya takut kepada Allah”

Ketua perampok itu merasa terkejut mendengar jawaban polos anak itu. “hai bocah, kamu ini masih begitu kecil. Kamu diperintahkan jujur oleh ibumu dan kamu mematuhinya, sedangkan aku yang sudah tua ini tidak pernah mematuhi perintah Allah. “ lalu ketua perampok itu menangis tersedu-sedu karena menyesali perbuatannya. Dan semua anggota itu ikut menangis pula.

“hai bocah karena kejujuranmu inilah, aku bersumpah untuk tidak lagi menjadi perampok. Aku akan bekerja sebagaimana layaknya, yang penting halal. Aku akan mematuhi perintah Allah dan menjahui larangan-Nya,” kata ketua perampok bersungguh-sungguh.

Salah seorang perampok itu berkata, “ketua, dulu engkau yang mengajak kami menjadi perampok sehingga kami semua menjadi perampok. Sekarang, karena engkau sudah bertaubat, kamu pun akan mengikutimu untuk bertaubat”.

Akhirnya semua perampok itu bertaubat. Mereka tidak menjadi perampok lagi, melainkan menjadi orang-orang shaleh yang senantiasa mentaati perintah Allah dan meninggakan larangan-Nya.

Demikiankah buah kejujuran dari Abdul Qadir. Meskipun ia masih kecil, ia sudah membiasakan diri untuk bersifat jujur. Ia bisa selamat karena kejujurannya, bahkan ia bisa menyelamatkan orang lain dari kesesatan karena kejujurannya. Dua buah sifat terpuji yang senantiasa kita ingat, bakti kepada kedua orang tua dan senantiasa ebrsikap jujur.

Abdul Qadir meneruskan perjalannya ke Baghdad. Disana ia rajin belajar, menimba ilmu dari para ulama terkemuka. Setelah dewasa, Abdul Qadir menjadi seorang ulama besar. Karena ia berasal dari negeri Jilan, maka ia disebut sebagai Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau dikenal sebagai “Sulthanul Auliya” yang artinya pemimpin para wali. Namanya harum sepanjang masa.

 --------------------------⁣⁣⁣⁣⁣

Resep Masakan Rumahan
Syafa Aulia Rahmah
Info Warga Jateng
Mancing Gayeng
Yuni Almus

Tidak ada komentar:

Keutamaan Membaca Surat Al-Ikhlas

 Keutamaan Membaca Surat Al-Ikhlas istiqomah moco surat ikhlas waktu subuh 3 x magrib 3x. mergo dawuhe kanjeng nabi nek wong iku moco surat ...